Opini
Catatan Supriyono *)
Sengkuni. Tokoh pewayangan ini tentu tidak asing lagi bagi kita, terutama pecinta wayang. Sengkuni, menjelma kembali dalam kehidupan politik tanah air, dimana banyak sengkuni-sengkuni bermunculan mewarnai hiruk pikuk politik jelang pemilu 2024.
Sengkuni, memiliki perilaku cerdas tapi licik, perilaku tak pandai terima kasih, haus akan kekuasaan, penghianat kawan seiring, menghalalkan segala cara. Perilaku Sengkuni ini, sering dikaitkan dengan tipikal personaliti politik yang tak tahu diri. Sosok Sengkuni representasi perilaku politik yang tak ber etika dan bermartabat sebagaimana banyak dimainkan oleh para politisi di negeri nusantara kerajaan era Astina dalam kisah Mahabarata kalau tak mau disebut negeri Indonesia.
Sengkuni dalam dunia pewayangan adalah perlambang sifat antagonis, penuh kelicikan, keburukan dan kejahatan. Ia selalu tidak senang jika para Pandawa ( perlambang kebenaran ) hidup dalam kedamaian, kejujuran dan lebih maju hidupnya dibanding para Kurawa di kerajaan Astinapura tempat tokoh Sengkuni mengabdikan diri.
Berbagai cara ia lakukan agar Pandawa tidak mendapatkan kekuasaan dan menjadi pemimpin Kerajaan. Di setiap zaman karakter Sengkuni selalu muncul. Sebenarnya Sengkuni memiliki kelebihan berupa ketangkasan, pandai bicara dan banyak akal.
Namun kelebihannya ini sering disalahgunakan untuk memfitnah, menghasut dan mencelakakan orang lain. Jika kita menengok ke jagat politik, kita bisa melihat karakter-karakter Sengkuni menjangkiti kepribadian para tokohnya.
Kisah kelicikan Sengkuni, berawal dari kudeta yang dilakukan Sengkuni yang mau jadi Pati kerajaan Astina, tanpa harus berkeringat atau mendirikan partai di kerajaan Astina. Sengkuni ini tokoh rai gedek [tidak punya muka dan tak tahu malu] adalah perilaku tak beretika dan sungguh bermoral rendah.
Tujuan untuk berkuasa atau jadi raja sah saja dalam kondisi normal melalui proses demokrasi dan presedur konstitusi dengan perjuangan yang benar. Tapi perilaku ala Sengkuni yang licik dan lihai memainkan propaganda dan mengintip peluang dalam kesempitan menjadi perilaku patologis yang pandai memfaatkan jabatan sebagai kesempatan dalam kesempitan.
Perilaku Sengkuni bukan hanya di era masa lalu kerajaan Astina. Sengkui ini memang cerdas, dan ahli komunikasi agitasi politik, yang terus bermain di sekitar istana Astina.
Tapi di era Indonesia hari ini, juga banyak Sengkuni -Sengkuni gaya baru. Perilaku Sengkuni pernah di ceritakan oleh guru sejarah, Sengkuni itu personifikasi dari politisi busuk yang terus membuat kegaduhan dan kekacauan di muka bumi. Perilaku Sengkuni yang tak pandai terima kasih dan berjiwa penghianat mempermalukan jiwa prajurit dan kehormatan dalam cerita Mahabarata.
Cerita tentang penghianatan politik di negeri tercinta Indonesia, seakan tak ada habis habisnya, dari masa ke masa, dari masa raja raja era feodalisme sampai era oligarki dan kapitalisme selalu hadir dengan wajah berbeda, tapi sifatnya yang sama.
Politik memang sulit ditebak, tapi perilaku politik terkadang mudah di tebak, gejala persengkokolan , gejala ambisi meraih jabatan dengan mudah ditafsirkan oleh para analis politik kemana arah akhir ceritanya.
Perilaku politik yang elegan dan bermartabat adalah perilaku yang amanah, pandai berterima kasih kepada orang yang pernah memberikan jalan kesuksesan sehingga memiliki prestasi dan sukses.
Sebab manusia yang tak pandai terima kasih kepada orang yang pernah memberikan sesuatu kebaikan kepadanya, maka percaya lah lebih amat sulit lagi bisa bersyukur kepada Tuhannya, sehingga akan dilanda rasa kekurangan dan kegelisahan jiwa yang tak berkesudahan.
Dalam carut marut politik kita saat ini, siapa yang berperilaku Sengkuni? Silahkan bertanya pada rumput yang bergoyang.
*) Penikmat Kopi Pait